Aceh, MEDIAINDONESIA.asia - Forum Mahasiswa Aceh Singkil (FORMAS) mengangkat suara lantang atas dugaan pencemaran Sungai Lae Gombar yang menyebabkan ribuan ikan mati di kawasan Ladang Bisik hingga Kota Baharu, Sabtu (…). Insiden memprihatinkan ini tidak hanya menimbulkan keresahan warga, tetapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem dan kesehatan masyarakat.
Ketua FORMAS, Ahmad Fadil Lauser Melayu, menegaskan bahwa kerusakan ekosistem sungai tidak bisa dianggap sepele. “Sungai Lae Gombar adalah urat nadi kehidupan masyarakat. Dugaan kelalaian pihak perusahaan harus diselidiki secara transparan. Jangan sampai ada pelaku pencemaran yang justru dilindungi dan lolos dari jerat hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, Fadil menyebut publik tidak bisa menutup mata terhadap dugaan adanya kongkalikong aparat–perusahaan dalam setiap kasus lingkungan yang kerap berujung sunyi tanpa kejelasan. “Kami mendesak aparat jangan main mata dengan korporasi. Hukum harus berdiri di pihak rakyat, bukan jadi perisai perusahaan nakal,” ujarnya.
FORMAS menegaskan desakannya berdasarkan payung hukum yang jelas, antara lain:
1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup – Pasal 69 melarang pembuangan limbah tanpa izin. Pasal 98 dan 99 menegaskan ancaman pidana bagi pencemar yang menimbulkan kerugian serius bagi manusia dan lingkungan.
2. PP No. 22 Tahun 2021 – Mengatur tata kelola limbah serta kewajiban pemegang izin usaha mencegah kebocoran limbah.
3. UU Sumber Daya Air – Menjamin hak masyarakat atas air bersih dan lingkungan perairan yang sehat.
FORMAS juga menuntut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh Singkil segera mempublikasikan hasil uji laboratorium kualitas air Sungai Lae Gombar. “Kalau hasil uji laboratorium membuktikan ada pencemaran, maka perusahaan harus diwajibkan memulihkan ekosistem sekaligus memberi kompensasi bagi masyarakat terdampak. Tidak ada alasan untuk melindungi kejahatan lingkungan,” kata Fadil.
FORMAS menilai lemahnya pengawasan Pemkab Aceh Singkil terhadap industri perkebunan sawit turut membuka ruang terjadinya pencemaran. Karena itu, mereka menuntut pengawasan diperketat, bukan sekadar formalitas.
Di sisi lain, FORMAS mengajak komunitas lokal, tokoh adat, dan pemuda desa untuk aktif mengawasi sungai. “Keselamatan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Kalau negara abai, masyarakat harus bangkit. Jangan biarkan sungai kita dijadikan tempat cuci dosa korporasi yang merusak,” pungkas Fadil. Ali**


