Aceh Singkil - Tokoh masyarakat dari Kecamatan Kota Baharu dan Singkohor akhirnya angkat bicara, menagih hasil nyata dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Gedung DPRK Aceh Singkil pada 20 Mei 2025 lalu. Rapat yang dihadiri oleh Wakil Bupati Aceh Singkil, Ketua Komisi II DPRK, Wakil Ketua II DPRK, Kepala Kantor BPN Aceh Singkil serta perwakilan masyarakat, menyepakati bahwa PT Nafasindo tidak boleh melakukan aktivitas apapun di lahan eks HGU seluas 3.007 hektar sebelum bisa menunjukkan alas hak HGU yang sah dan masih berlaku.
Namun, hingga hari ini, Rabu, 4 Juni 2025, PT Nafasindo masih tak mampu menunjukkan dokumen HGU yang diminta. Bahkan, secara terang-terangan pihak perusahaan menyebut bahwa izin HGU milik mereka belum juga diterbitkan oleh Menteri ATR/BPN Pusat.
“Jadi mereka itu masih ngotot beraktivitas, padahal izinnya sudah mati sejak 11 Mei 2023. Ini bentuk pelecehan terhadap hukum dan kesepakatan yang dibuat di hadapan pemerintah daerah dan DPRK!” tegas Rabudin Sinaga, tokoh masyarakat Singkohor.
Senada dengan itu, Aminullah Sagala, perwakilan masyarakat Kota Baharu, juga melontarkan kritik keras. “Jangan-jangan PT Nafasindo ini pikir Aceh Singkil tak punya hukum! Sudah jelas-jelas tak bisa menunjukkan HGU, tapi masih berani buka kegiatan? Ini perusahaan atau preman berseragam?” ujarnya tajam.
DPRK Aceh Singkil melalui Wakil Ketua II dan Ketua Komisi II juga mengingatkan kembali bahwa dalam RDP lalu, kesepakatan telah dibuat secara resmi. Jika PT Nafasindo tidak bisa membuktikan hak hukumnya, maka segala bentuk kegiatan di atas tanah eks HGU itu adalah ilegal.
“Kami sudah tegas waktu itu, tidak boleh ada aktivitas sampai mereka bisa tunjukkan alas hak. Sekarang terbukti, mereka tidak punya. Jadi hentikan semua kegiatan. Titik.” ujar Ketua Komisi II DPRK Aceh Singkil.
Berdasarkan hasil rapat tersebut, disimpulkan bahwa lahan eks HGU seluas 3.007 hektar yang masa izinnya berakhir 11 Mei 2023 harus dikembalikan kepada negara. Sampai detik ini, belum ada pembaruan izin, sementara PT Nafasindo terus beraktivitas seolah-olah tak ada yang salah.
“Kalau dibiarkan, ini bisa jadi preseden buruk. Investor bisa seenaknya beroperasi tanpa izin, dan rakyat hanya jadi penonton di tanahnya sendiri. Ini bentuk kolonialisme gaya baru!” kata Aminullah Sagala.
Kini, masyarakat Kota Baharu dan Singkohor menunggu tindakan nyata dari DPRK, Pemkab, dan aparat penegak hukum. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke korporasi besar.(syah)
MEDIA SOSIAL