Jakarta - Mediaindonesia.asia ) Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa
rumah sakit (RS), klinik, dan kampus dari luar negeri boleh membuka cabang di
Indonesia. Dia mengatakan hal ini saat bertemu dengan Presiden Dewan Eropa,
Antonio Costa, di Brussels, Belgia, Minggu (13/7/2025). Prabowo pun menekankan
keinginannya untuk lebih banyak keterlibatan Eropa dalam perekonomian Indonesia
dan juga sebaliknya. Menurut dia, Eropa memiliki keunggulan dan pengalaman
dalam hal teknologi dan pengetahuan. Sementara itu, Indonesia kaya akan cadangan
mineral dan sumber daya alam (SDA) langka. Karena itu, perjanjian kerja sama
ekonomi komprehensif (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa saling menguntungkan
kedua belah pihak.
Ia memberikan sinyal, bila CEPA ditandatangani,
maka rumah sakit Eropa bisa membuka cabang di Indonesia, seperti diberitakan
Kompas.com, Senin (14/7/2025).
Lantas, bagaimana tanggapan pengamat terkait
rencana pembukaan RS dan kampus asing di Indonesia ini?
Rencana bijak, asal memenuhi syarat tertentu
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto
Samirin menyambut positif rencana Prabowo dengan memberikan beberapa ketentuan.
Menurut dia, pembukaan RS dan kampus asing di Indonesia bisa memberikan dampak
bagi alat pembayaran luar negeri dan inovasi negara. "Ide bijak, asal
mereka melayani kelas pasien atau mahasiswa tertentu. Ini bisa menekan devisa
yang keluar dari negara dan berdampak positif bagi inovasi di Indonesia,"
ujar Wijayanto saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/7/2025). Apabila rencana
tersebut dilakukan, Wijayanto memberikan beberapa syarat penting sebagai
berikut.
- Rumah sakit atau kampus harus melayani kelompok
tertentu, misalnya masyarakat kelas atas -- Mempekerjakan dokter, pakar, dosen,
dan karyawan dari Indonesia.
-
Ada transfer knowledge dan teknologi
-
Untuk universitas, diadakan program beasiswa
inklusi untuk masyarakat cerdas yang punya masalah ekonomi
- Berlokasi di kawasan tertentu saja, misalnya di kota besar, meliputi Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Semarang, dan Bandung.
Dia pun menyoroti tantangan dari pembukaan RS
dan kampus asing ini, yaitu dalam hal pemantauan dan implementasi di lapangan.
"Jadi, harus didukung oleh regulasi yang solid dan birokrasi yang
mumpuni," kata dia. Mengenai persaingan usaha dengan RS dan kampus lokal,
Wijayanto menjelaskan perlunya pembedaan target pasar dan harga.
"Mereka melayani kelas atas, tidak boleh ada
undur peran BPJS Kesehatan. Terkait RS, peran ikatan dokter Indonesia juga
perlu, mereka harus dilibatkan," jelas dia.
Ia mengatakan, dalam hal pelaksanaan nanti, perlu
dilakukan dengan cara pilloting. Menurut dia, lebih baik dibuka dua hingga tiga
RS dahulu nantinya. Bila dalam dua tahun memberikan dampak yang bagus, baru
ditambah lima lagi dan izin dihentikan setelah jumlah mencukupi.
Berbagai manfaat untuk masyarakat Senada, ekonom
Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Jurnasin berpendapat bahwa praktik tersebut
memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara. "Saya kira itu tidak bisa
dihindari di pasar terbuka seperti saat ini," tutur Eddy saat dihubungi
Kompas.com, Selasa (15/7/2025).
Ia pun menjelaskan, manfaat dari pembukaan RS
dan kampus dari luar negeri ini memberikan masyarakat semakin banyak pilihan.
Dengan semakin banyak pilihan, maka harga berobat
akan semakin kompetitif atau lebih murah. Selain itu, masyarakat tentunya bisa
mendapat layanan dari banyak spesialis dari dalam dan luar negeri. Tidak hanya
itu, Eddy mengatakan bahwa program ini juga memberikan manfaat bagi negara,
yaitu sebagai berikut.
-
Devisa tidak lari ke negara lain
-
Lapangan kerja meningkat karena pasti
membutuhkan dokter, perawat, dan SDM dari Indonesia
-
Adanya para ahli dari negara lain bisa
meningkatkan kualitas spesialis dan SDM Indonesia
- Pendapatan bagi pemerintah meningkat melalui pajak, dan lain sebagainya.
Red**