Guru di daerah 3T. tertinggal, terdepan, dan terluar. Sering dipuja sebagai pahlawan pendidikan. Narasi ini berulang setiap tahun: guru berjalan kaki berjam-jam, mengajar tanpa listrik, bertahan dengan fasilitas seadanya. Namun, di balik pujian itu tersimpan masalah serius: pengabdian guru terus dijadikan alasan untuk membenarkan absennya negara secara sistemik.
Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa ketimpangan akses pendidikan di wilayah 3T masih sangat besar. Ribuan sekolah berada di daerah dengan akses internet terbatas atau bahkan tanpa jaringan sama sekali. Padahal, kebijakan pendidikan nasional semakin bergantung pada sistem digital. Mulai dari administrasi guru, pelaporan kinerja, hingga pembelajaran berbasis platform daring. Akibatnya, guru di daerah 3T dipaksa memenuhi tuntutan yang secara logis tidak sesuai dengan kondisi lapangan.Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah kekurangan dan distribusi guru. Banyak sekolah di daerah 3T mengalami rasio guru-siswa yang tidak ideal, bahkan satu guru harus mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus. Kondisi ini jelas berdampak pada kualitas pembelajaran. Ironisnya, negara masih menerapkan standar kurikulum yang seragam, seolah-olah sekolah di kota besar dan sekolah di wilayah perbatasan memiliki titik start yang sama.
Masalah kesejahteraan juga belum tuntas. Laporan berbagai lembaga pemantau pendidikan menunjukkan bahwa pencairan tunjangan khusus guru di daerah 3T kerap terlambat dan prosedurnya berbelit. Bagi guru honorer, situasinya lebih memprihatinkan: penghasilan yang minim harus ditukar dengan beban kerja tinggi dan risiko geografis yang nyata. Ketika kondisi ini dikritik, jawabannya sering kali normatif mengajar adalah panggilan hati. Narasi ini berbahaya karena mengaburkan fakta bahwa mengajar adalah profesi yang seharusnya dilindungi dan dihargai secara layak.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketimpangan ini telah dinormalisasi. Kesulitan guru di daerah 3T tidak lagi dipandang sebagai masalah kebijakan, melainkan sebagai cerita inspiratif. Padahal, pendidikan yang bergantung pada heroisme individu adalah sistem yang rapuh. Negara tidak bisa terus berharap pada keikhlasan guru sambil menunda pembenahan struktural.
Jika pemerintah sungguh ingin mempersempit kesenjangan pendidikan, maka pendekatannya harus berubah. Kebijakan pendidikan perlu bersifat kontekstual, distribusi guru harus lebih adil, beban administrasi disederhanakan, dan kesejahteraan guru dijamin secara konsisten. Tanpa itu, jargon pemerataan pendidikan hanya akan menjadi slogan kosong.
Menghormati guru di daerah 3T tidak cukup dengan pujian dan seremoni. Penghormatan sejati adalah keberanian negara untuk memperbaiki sistem yang timpang. Selama pengabdian guru terus dijadikan tameng, pendidikan di daerah 3T akan tetap tertinggal dan kita semua ikut bertanggung jawab atas pembiaran ini.
Kreator : NOR PADHILAH

.png)