Mahasiswa PGSD Universitas Sari Mutiara Indonesia, sangat prihatin
dengan lenyapnya budaya balian adat di Desa Lalapin, Kecamatan Hampang, Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan Selatan. Balian Adat Dayak Kalimantan Selatan adalah
ritual spiritual dan pengobatan tradisional yang dipimpin oleh balian (dukun
atau rohaniawan), khususnya dalam agama Kaharingan. Ritual ini menghubungkan
manusia dengan roh leluhur, menyembuhkan penyakit jasmani maupun rohani,
memohon berkah, atau mengatasi musibah. Melalui nyanyian penuh makna, tarian
seperti Tari Tandik Balian dari Dayak Warukin/Maanyan, dan persembahan sesajen,
balian sering dilakukan oleh ketua adat dayak, menjaga keseimbangan spiritual
masyarakat Dayak Meratus, Dayak Ngaju, dan subsuku lainnya di Kalsel. Dulu, di
desa kami, ritual ini menjadi pondasi kehidupan adat, menyatukan komunitas
dalam harmoni alam dan leluhur.
Kini, balian di Desa Lalapin hampir
hilang karena tak ada generasi penerus yang melestarikannya. Pemuda lebih
terpikat dunia modern, pekerjaan di kota, dan teknologi yang menjauhkan dari
tradisi. Tak ada lagi anak muda yang mau belajar nyanyian kuno, gerakan tari
ritual, atau meracik sesajen. Balian tua meninggal tanpa murid, meninggalkan
masyarakat tanpa jembatan spiritual saat musibah datang. Globalisasi dan
urbanisasi mempercepat kepunahan ini, mengikis identitas Dayak yang kaya akan
kearifan lokal.
Ini kehilangan besar bagi Kalimantan
Selatan. Sebagai calon guru, saya yakin ritual balian bisa diintegrasikan ke
pelajaran IPS SD untuk mengajarkan nilai toleransi, kesatuan, dan harmoni alam.
Pemerintah, tokoh adat, dan sekolah harus bertindak, adakan pelatihan balian
untuk pemuda, festival tahunan, dan masukkan ke kurikulum lokal. Jika
dibiarkan, cucu-cucu kami hanya akan kenal balian dari cerita belaka. Mari
selamatkan warisan ini sebelum terlambat !

