Notification

×

Iklan

Translate

Iklan

Translate

Ketika Anak SD Mulai Merasa ‘Tidak Pintar’ Masih Perlukah Ranking Kelas?

Minggu, 21 Desember 2025 | 3:00:00 PM WIB | Last Updated 2025-12-21T07:00:00Z

Oleh Dedy Marlanto

Sebagai guru sekolah dasar, saya sering dihadapkan pada momen yang cukup mengusik pikiran, yaitu saat harus menentukan ranking atau juara kelas. Anak-anak SD yang saya ajar masih berada pada usia belajar mengenal diri, membangun rasa percaya diri, dan memahami arti keberhasilan. Namun, di usia yang masih sangat dini itu, mereka sudah mulai dibandingkan satu sama lain melalui angka dan peringkat.

Di kelas, saya melihat bagaimana ranking bisa memunculkan dua reaksi yang sangat berbeda. Ada siswa yang senang dan bangga ketika mendapat peringkat atas. Mereka tersenyum lebar dan merasa usahanya terbayar. Namun, ada pula siswa yang wajahnya langsung murung ketika mengetahui peringkatnya rendah. Bahkan, tidak jarang saya mendengar kalimat seperti, “Saya memang tidak pintar, pak.” Kalimat sederhana, tetapi cukup menggambarkan dampak psikologis dari sistem ranking bagi anak SD.

Pada dasarnya, ranking dan juara kelas sering dianggap sebagai alat motivasi. Harapannya, anak-anak menjadi lebih rajin belajar dan bersemangat meraih prestasi. Akan tetapi, dalam praktiknya, tidak semua anak SD mampu memahami makna kompetisi secara sehat. Banyak dari mereka justru menganggap ranking sebagai penilaian atas siapa yang pintar dan siapa yang tidak. Padahal, di usia sekolah dasar, kemampuan anak sangat beragam dan masih terus berkembang.

Sebagai guru SD, saya melihat bahwa kecerdasan anak tidak bisa diukur hanya dari nilai ujian. Ada anak yang belum menonjol secara akademik, tetapi sangat jujur, bertanggung jawab, dan peduli terhadap teman. Ada pula yang aktif bertanya, berani mencoba, dan menunjukkan kemajuan besar meskipun nilainya belum tinggi. Sayangnya, semua proses positif itu sering kalah “terlihat” dibandingkan angka di rapor dan posisi ranking.

Saya juga menyadari bahwa fokus berlebihan pada ranking dapat mengubah tujuan belajar anak. Beberapa siswa belajar bukan lagi karena ingin tahu, tetapi karena takut nilainya turun. Anak menjadi enggan bertanya atau mencoba hal baru karena takut salah. Padahal, kesalahan adalah bagian penting dari proses belajar, terutama di jenjang sekolah dasar.

Menurut saya, bukan berarti sekolah dasar sama sekali tidak boleh mengenalkan prestasi atau penghargaan. Namun, bentuk penghargaan perlu dibuat lebih beragam dan ramah bagi perkembangan anak. Misalnya, memberikan apresiasi atas peningkatan belajar, sikap disiplin, keberanian tampil, atau kemampuan bekerja sama. Dengan cara ini, setiap anak memiliki kesempatan untuk merasa berhasil dan dihargai.

Sebagai guru SD, saya percaya bahwa tugas utama pendidikan di jenjang dasar adalah menumbuhkan rasa senang belajar dan percaya diri anak. Jika ranking dan juara kelas justru membuat sebagian anak merasa rendah diri, maka relevansinya patut dipertanyakan. Pendidikan seharusnya membantu anak mengenali potensi dirinya, bukan memberi label sejak dini. Sudah saatnya sekolah dasar lebih menekankan proses, usaha, dan perkembangan anak, bukan sekadar siapa yang berada di peringkat teratas.

Kreator : Dedy Marlanto

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update