JAKARTA, MEDIAINDONESIA.asia - Rentetan aksi penagihan utang oleh debt collector atau mata elang kembali mendapat sorotan tajam menyusul serangkaian insiden kekerasan di berbagai daerah. Di Kalibata, kasus pengeroyokan terhadap dua mata elang hingga tewas menyeret enam anggota polisi sebagai tersangka dan dua diantaranya telah dipecat dari Polri.
Sementara itu di Depok, dua mata elang diringkus polisi setelah diduga melakukan pemukulan terhadap seorang pengendara dan merampas STNK secara paksa. Aksi intimidasi tersebut bahkan sempat terekam kamera warga dan viral di media sosial.
Rentetan peristiwa tersebut semakin menambah keresahan masyarakat terhadap praktik penagihan utang yang disertai kekerasan. Lantas sampai kapan praktik-praktik seperti ini dibiarkan terus terjadi?
DPR Desak Larangan Penagihan Utang Debt Collector
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Nasyirul Falah Amru mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melarang praktik penagihan utang oleh pihak ketiga atau debt collector.
Gus Falah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perusahaan pembiayaan maupun debt collector tidak diperkenankan mengeksekusi objek jaminan secara sepihak. Ketentuan tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang efektif berlaku sejak 6 Januari 2020.
"Putusan MK itu bersifat final dan mengikat, sehingga setiap perusahaan leasing dan apalagi debt collector tak boleh bertindak melakukan aksi pengambilan paksa terhadap debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran cicilan," ujar Gus Falah, Rabu (17/12/2025).
Ia menambahkan, putusan MK secara tegas menyatakan bahwa eksekusi jaminan hanya dapat dilakukan melalui permohonan ke Pengadilan Negeri, bukan oleh kreditur maupun pihak ketiga.
Selain itu, MK juga menegaskan bahwa penyelesaian kredit macet tidak boleh disertai teror maupun tindakan kekerasan, ancaman, atau penghinaan terhadap debitur.
"Putusan MK itu sejalan dengan teori negara hukum, bahwa penyelesaian sengketa finansial harus melalui mekanisme hukum yang transparan dan dapat diawasi," kata Gus Falah.
Ia menilai, dengan adanya putusan tersebut, keberadaan debt collector secara hukum seharusnya tidak lagi diakui.
"Maka eksistensi debt collector bertentangan dengan prinsip negara hukum, sehingga sudah seharusnya mereka dihapus atau dilarang," pungkasnya.
Laporan : Andi
Editor : Lisa
Wartawan MEDIA INDONESIA ASIA setiap bertugas selalu dilengkapi dengan KTA dan SURAT TUGAS, Jika ada yang mengaku Wartawan MEDIA INDONESIA ASIA tanpa di lengkapi dengan KTA Pers dan SURAT TUGAS segera Laporkan Ke Pihak Berwajib atau langsung hubungi Redaksi Klik di sini

