Indonesia sering kali dijuluki sebagai Megabiodiversity Country. Dengan ribuan pulau
yang membentang di garis khatulistiwa, negeri ini menjadi rumah bagi
kekayaan hayati yang luar biasa, mulai dari mamalia besar hingga burung-burung
eksotis yang tidak ditemukan di belahan bumi lain. Namun, di balik kemegahan
status tersebut, tersimpan sebuah narasi kelam yang kian hari kian mengkhawatirkan
ancaman kepunahan massal satwa endemik kita.
Fenomena kepunahan satwa di Indonesia bukan sekadar hilangnya satu atau dua spesies dari ekosistem, melainkan sebuah sinyal bahaya atas runtuhnya keseimbangan alam yang menopang kehidupan manusia. Artikel ini akan menelaah mengapa perlindungan terhadap hewan yang hampir punah harus menjadi prioritas nasional dan mengapa pendekatan kita selama ini perlu dievaluasi kembali.
Memahami Kedalaman Krisis
Menurut data dari International Union
for Conservation of Nature (IUCN), sejumlah satwa ikonik Indonesia kini
menyandang status Critically Endangered atau Kritis. Harimau Sumatera, Badak Jawa, Orangutan Tapanuli, hingga Burung Jalak Bali berada di titik nadir
eksistensinya. Diperkirakan, populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon kini tidak lebih dari
80 ekor. Angka yang sangat rentan terhadap kepunahan total akibat penyakit
maupun bencana alam.
Penyebab utama dari krisis ini bersifat
multifaktorial, namun hampir seluruhnya berakar pada aktivitas manusia.
Deforestasi menjadi momok paling menakutkan. Pembukaan lahan untuk perkebunan monokultur, pertambangan, dan pemukiman telah mengfragmentasi habitat asli
satwa. Ketika hutan yang menjadi rumah mereka menyusut, konflik antara manusia
dan hewan tidak dapat terhindarkan, yang sering kali berakhir dengan kematian
satwa tersebut.
Ekosistem sebagai Jaring Kehidupan
Banyak pihak yang masih memandang upaya
konservasi sebagai tindakan filantropi yang "sekadar kasihan"
terhadap hewan. Pandangan ini sangatlah keliru. Secara biologis, setiap spesies
memegang peran krusial sebagai keystone species atau spesies kunci.
Sebagai contoh, Orangutan dikenal sebagai "petani hutan". Melalui daya jelajahnya yang
luas dan pola makannya, mereka menjadi agen penyebar biji-bijian yang efektif,
memastikan regenerasi hutan hujan tropis tetap berlangsung. Tanpa Orangutan,
struktur hutan akan berubah, kemampuan hutan menyerap karbon akan menurun, dan
pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim global yang merugikan manusia.
Begitu pula dengan Harimau Sumatera yang
berada di puncak rantai makanan. Perannya sebagai predator puncak adalah untuk
mengendalikan populasi herbivora agar tidak terjadi ledakan populasi yang dapat
merusak vegetasi hutan. Kepunahan mereka akan memicu efek domino yang
mengganggu stabilitas ekologi dan ekonomi masyarakat yang bergantung pada
sumber daya alam.
Tantangan Penegakan Hukum dan Perburuan
Liar
Selain hilangnya habitat, perburuan liar
dan perdagangan satwa ilegal tetap menjadi ancaman eksistensial. Di pasar gelap internasional, bagian tubuh satwa
eksotis Indonesia dihargai sangat tinggi untuk kebutuhan koleksi, pengobatan
tradisional yang tidak teruji secara medis, maupun simbol status sosial.
Meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, implementasi di lapangan
sering kali terbentur oleh keterbatasan personel penjaga hutan (ranger)
dan sanksi hukum yang terkadang belum memberikan efek jera yang maksimal bagi
para pemodal besar di balik perdagangan ilegal tersebut. Komitmen politik dan
integritas aparat penegak hukum menjadi variabel kunci yang tidak bisa ditawar
lagi.
Pergeseran Paradigma: Dari Eksploitasi
ke Koeksistensi
Untuk mengatasi krisis ini, kita
memerlukan pergeseran paradigma dalam memandang alam. Pembangunan ekonomi tidak
boleh lagi diposisikan sebagai lawan dari konservasi. Konsep pembangunan
berkelanjutan harus benar-benar diintegrasikan ke dalam kebijakan pemerintah
pusat dan daerah.
Salah satu solusi yang dapat ditempuh
adalah penguatan konsep Green Economy. Pemerintah harus memberikan
insentif bagi daerah yang berhasil menjaga populasi satwa endemiknya dan
mengelola kawasan hutan dengan bijak. Ekowisata berbasis komunitas juga dapat menjadi
alternatif ekonomi yang menjanjikan, di mana masyarakat lokal dilibatkan secara
aktif sebagai garda terdepan pelindung satwa, sehingga mereka merasakan manfaat
ekonomi langsung dari keberadaan hewan-hewan tersebut tanpa harus memburunya.
Peran Teknologi dalam Konservasi
Di era digital ini, teknologi dapat
menjadi sekutu terbaik bagi konservasi. Penggunaan sensor kamera (camera
trap), pemantauan berbasis satelit untuk mendeteksi perubahan tutupan hutan
secara real-time, hingga penggunaan analisis DNA lingkungan (eDNA)
dapat membantu para peneliti memantau populasi satwa yang sulit ditemukan.
Inovasi ini memungkinkan intervensi yang lebih cepat dan akurat ketika terjadi
ancaman di habitat tertentu.
Kesimpulan: Tanggung Jawab Lintas
Generasi
Menyelamatkan satwa endemik Indonesia
dari kepunahan bukan hanya tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau
organisasi nirlaba internasional. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh
elemen bangsa. Sebagai warga negara, kita memiliki peran mulai dari hal kecil
seperti menolak membeli produk dari satwa yang dilindungi, hingga mendukung
kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan.
Kepunahan bersifat permanen. Jika kita
membiarkan Harimau Sumatera atau Badak Jawa menghilang dari muka bumi, generasi
mendatang hanya akan mengenal mereka lewat buku sejarah dan rekaman digital.
Kita akan kehilangan identitas alamiah yang membentuk jati diri bangsa
Indonesia.
Waktu kita tidak banyak. Ambang
kepunahan sudah di depan mata. Namun, selama masih ada kemauan politik yang
kuat, penegakan hukum yang tegas, dan kesadaran masyarakat yang tinggi, masih
ada harapan untuk memulihkan populasi satwa-satwa kebanggaan kita. Melindungi
mereka berarti melindungi masa depan kita sendiri.
Kreator : Ahmad Rafi’i
