Morowali itu seksi. Bukan seksi seperti model Victoria's Secret, tapi seksi di mata investor nikel yang melihat tanah Sulawesi seperti melihat bongkahan emas berlumur sambal roa: pedas, menantang, tapi bikin nagih. Di tengah hiruk-pikuk industrialisasi PT IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park), ada satu entitas yang sering luput dari radar namun vital: Bandara Khusus.
Orang sering menyebutnya 'Bandara Hantu'. Bukan karena ada Kuntilanak yang minta diantar ke Beijing, tapi karena operasionalnya yang kadang exist kadang tiada, transparan tapi buram, ada tapi tak tersentuh hukum umum.
Sore itu, di sebuah kedai kopi yang AC-nya lebih adem dari ruang forensik (serius, tatapan debt collector aja kalah dingin), saya sudah sengaja janjian dengan kawan lama: Bang Rendi---bukan nama sebenarnya, sang 'Profesor' urusan bandara. Kami dulu sama-sama 'makan debu' saat bertugas di Palangka Raya.
Sebenarnya, Rendi enggan bicara. Dia sudah pensiun dini, memilih hidup tenang mengurus kebun hidroponik jauh dari hiruk-pikuk birokrasi. "Aku udah nyaman, Bro. Nggak mau lagi dikejar-kejar bayangan masa lalu atau diteror orang suruhan," katanya sambil memilin tisu. Tapi matanya tak bisa bohong; ada kegelisahan seorang patriot di sana.
"Tapi kalau aku diem, rasanya kayak ikut bukain pintu gerbang buat maling masuk rumah kita sendiri. Aku nggak tahan liat negara digrogoti pelan-pelan," ujarnya lirih, sebelum akhirnya 'bernyanyi' tentang semua celah yang ia tahu.
Celah Regulasi: 'State Capture' oleh Korporasi
"Bro," Rendi mulai serius. "Kau tahu kenapa perusahaan besar ngotot punya Bandara Khusus dan bukan pakai bandara umum?"
"Biar cepat?" jawab saya polos.
"Itu alasan di brosur investasi," sergah Rendi. "Alasan aslinya adalah Kontrol Total. Di Bandara Komersial, hukum itu positive law (hukum positif). Di Bandara Khusus, korporasi menciptakan enclave hukum sendiri. Mereka memanfaatkan status 'Proyek Strategis Nasional' (PSN) sebagai tameng. Regulasi kita memberi celah: Bandara Khusus boleh didarati penerbangan asing untuk 'kepentingan mendesak'. Nah, definisi 'mendesak' ini yang dimainkan. Apakah mendatangkan buruh kasar itu mendesak? Bagi mereka, iya."
Rendi menjelaskan bahwa perusahaan cerdik memanfaatkan kelemahan koordinasi antar-lembaga kita. Mereka tahu Bea Cukai, Imigrasi, dan Kemenhub sering tidak sinkron datanya. Di situlah mereka bermain.
"Ini namanya State Capture Corruption level tinggi. Regulasi tidak dilanggar secara frontal, tapi 'ditekuk' sampai pas dengan bentuk dompet mereka."
Artikel Oleh Fahruddin Fitriya


