Notification

×

Iklan

Translate

Iklan

Translate

Konflik Batin Gen Z, Antara Nikah Muda vs Tunda Demi Stabilitas

Rabu, 10 Desember 2025 | 7:00:00 PM WIB | Last Updated 2025-12-10T11:00:00Z

 

Ngaku deh, kamu Gen Z, pernah merasa diombang-ambingkan oleh dua arus media sosial yang berlawanan, kan?

Satu kali swipe, kamu melihat video estetik teman seangkatan pamer buku nikah dengan caption "Alhamdulillah, halal." Rasanya adem, ada keinginan untuk segera menyusul, apalagi ditambah siraman konten dakwah yang mengingatkan bahwa pacaran itu dosa dan nikah itu membuka pintu rezeki.

Tapi, begitu swipe lagi, linimasa berubah jadi horor. Muncul utas viral tentang perselingkuhan, KDRT, atau curhatan istri yang stres karena gaji suami di bawah UMR sementara harga susu anak melambung tinggi. Komentar-komentarnya penuh dengan kalimat sakti: "Marriage is scary".

Kebanyakan Gen Z, ini bukan sekadar galau asmara receh. Ini adalah perang batin.

Kamu mungkin terjebak di antara dorongan biologis dan spiritual untuk "menghalalkan hubungan", melawan realita ekonomi yang ironi di mana gaji UMR terasa kecil.

Artikel ini tidak akan menyuruhmu buru-buru ke KUA atau menakut-nakuti soal kemiskinan. Justru mari membedah realita ini supaya keputusanmu nanti bukan karena FOMO, melainkan karena strategi yang matang.

Mitos vs Fakta: Benarkah Gen Z Anti-Komitmen?

Seringkali generasi lebih tua mencap Gen Z sebagai generasi yang malas berkomitmen atau terlalu pemilih. Padahal, data berbicara lain. Berdasarkan survei IDN Research Institute, 73,7% Gen Z sebenarnya masih ingin menikah [1]. Jadi, narasi bahwa Gen Z "anti-nikah" itu mitos belaka.

Masalahnya bukan pada kemauan, tapi pada kemampuan dan kalkulasi.

Gen Z menghadapi apa yang disebut sebagai Inflation Trap. Data ekonomi dari periode 2014--2024 menunjukkan fakta yang mengerikan: inflasi harga pangan melonjak hingga 8,47%, sementara kenaikan gaji (baik ASN maupun UMR) hanya bergerak di angka satu digit (sekitar 4,6%). [2]

Gap yang menganga ini membuat Gen Z berpikir rasional. Penundaan pernikahan yang terjadi saat ini bukan karena gaya hidup hedonis, melainkan respons bertahan hidup (survival mode).

Kamu yang memilih menunda karena merasa tabungan belum cukup, itu bukan tanda kamu matre atau kurang iman. Itu tanda kamu sadar bahwa cinta saja tidak bisa membayar cicilan KPR atau biaya persalinan.

Tekanan Kanan-Kiri: Antara Nikah Cepat vs Trauma KDRT

Situasi makin rumit ketika kita bicara soal tekanan sosial. Di satu sisi, gerakan seperti "Indonesia Tanpa Pacaran" dan konten dakwah di media sosial sangat gencar mempromosikan nikah muda sebagai solusi tunggal untuk menghindari zina. Niatnya mulia, tentu saja, untuk menjaga moralitas.

Namun, narasi ini seringkali melupakan "disclaimer" penting: bahwa pernikahan bukan garis finis, tapi awal dari maraton panjang yang butuh bensin (finansial) dan stamina (mental).

Inilah yang memicu paradoks psikologis. Gen Z memiliki kebutuhan emosional (emotional support) dan dorongan biologis yang valid. Tapi ketika solusi yang ditawarkan hanya "halalin aja dulu", muncul konflik batin baru:

Oleh : BAGUS SUDEWO

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update