Notification

×

Iklan

Translate

Iklan

Translate

Memahami Dasar Hukum Penerapan Sanksi Pidana Korupsi di Indonesia

Senin, 08 Desember 2025 | 8:00:00 PM WIB | Last Updated 2025-12-08T12:00:00Z

 

Korupsi selalu menjadi isu yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari ada saja laporan baru mengenai suap, mark-up anggaran, atau penyalahgunaan jabatan. Di balik banyaknya pemberitaan tersebut, sebenarnya Indonesia memiliki dasar hukum yang cukup kuat dalam menangani tindak pidana korupsi. Namun, tidak semua orang mengetahui bagaimana aturan itu berkembang dan apa saja yang menjadi landasannya.

Pada masa awal kemerdekaan, penanganan korupsi masih bergantung pada KUHP, karena belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur kejahatan ini. Seiring waktu, praktik korupsi semakin kompleks, sehingga pemerintah mulai mengeluarkan berbagai regulasi tambahan. Salah satunya melalui Peraturan Penguasa Militer dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur mekanisme pengusutan dan penuntutan kasus korupsi dengan lebih tegas.

Langkah penting berikutnya hadir melalui UU No. 24/Prp/1960, yang menjadi pondasi awal upaya pemberantasan korupsi secara lebih sistematis. Aturan ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 1971, yang untuk pertama kalinya memberikan definisi yang lebih jelas mengenai tindak pidana korupsi, termasuk bentuk pelanggaran, cara penanganannya, dan jenis sanksi yang dapat dijatuhkan. Undang-undang ini menjadi rujukan utama selama bertahun-tahun.

Memasuki era reformasi, kebutuhan akan regulasi yang lebih modern membuat pemerintah memperbarui aturan tersebut melalui UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. Dua regulasi ini masih digunakan sampai sekarang dan menjadi dasar penting dalam penindakan korupsi. Di dalamnya diatur berbagai bentuk korupsi, seperti gratifikasi, suap, penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya membutuhkan mekanisme yang lebih serius dan terarah.

Dalam praktiknya, pemberantasan korupsi tidak ditangani oleh satu lembaga saja. Ada KPK yang fokus pada kasus dengan kerugian besar atau yang melibatkan pejabat publik, Kejaksaan dan Kepolisian yang menangani berbagai perkara sesuai kewenangannya, serta Pengadilan Tipikor sebagai tempat persidangan khusus. Kerja sama antarlembaga inilah yang membuat proses pemberantasan korupsi tetap berjalan, meskipun tantangannya tidak sedikit.

Meski aturan hukumnya cukup lengkap, pelaksanannya sering kali tidak mudah. Kasus korupsi umumnya melibatkan banyak aktor, proses pembuktiannya panjang, dan pengawasannya membutuhkan transparansi yang konsisten. Karena itu, selain peran lembaga penegak hukum, dukungan publik juga sangat dibutuhkan agar proses penegakan hukum benar-benar berjalan efektif.

Sebagai masyarakat, memahami dasar hukum ini penting agar kita tidak hanya melihat korupsi sebagai berita yang lewat begitu saja. Dengan mengetahui payung hukumnya, kita bisa memahami proses apa yang sedang berjalan, kenapa kasus tertentu ditangani oleh lembaga tertentu, dan bagaimana sanksi dijatuhkan. Pemahaman semacam ini membuat kita lebih peka terhadap transparansi dan lebih sadar akan pentingnya pengawasan bersama.

Korupsi memang bukan masalah yang selesai dalam waktu singkat. Namun dengan regulasi yang jelas, sistem penegakan hukum yang kuat, dan partisipasi masyarakat, langkah pemberantasannya dapat terus bergerak ke arah yang lebih baik.

Penulis : mel sof





TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update