Notification

×

Iklan

Translate

Iklan

Translate

URGENSI PENERAPAN KEMBALI SISTEM TINGGAL KELAS DAN KETIDAK LULUSAN UJIAN

Selasa, 23 Desember 2025 | 8:00:00 PM WIB | Last Updated 2025-12-23T12:00:00Z

 

Oleh Abdul Sedek Tomagola

Kebijakan pendidikan di Indonesia dalam dua dekade terakhir menunjukkan kecenderungan menghilangkan praktik tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian dengan alasan pendekatan humanistik dan perlindungan psikologis peserta didik. Namun, kebijakan tersebut justru berdampak pada melemahnya standar akademik, hilangnya fungsi evaluasi pembelajaran, serta menurunnya kualitas lulusan. Artikel ini bertujuan mengkaji secara kritis urgensi penerapan kembali sistem tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian sebagai instrumen akademik yang sah dan bertanggung jawab. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis kajian normatif, literatur pedagogik, dan analisis empiris praktik pendidikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa penghapusan konsekuensi akademik telah menciptakan ketidakadilan struktural, merusak integritas ijazah, serta memutus hubungan kausal antara usaha belajar dan hasil akademik. Artikel ini merekomendasikan pemulihan tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian berbasis kompetensi sebagai langkah strategis dalam menjaga mutu pendidikan nasional.

Kata kunci:

tinggal kelas, ketidaklulusan ujian, evaluasi pembelajaran, standar kompetensi, kebijakan pendidikan

1.      Pendahuluan

Evaluasi merupakan komponen esensial dalam sistem pendidikan karena berfungsi mengukur ketercapaian kompetensi peserta didik dan menentukan kelayakan akademik mereka. Menurut Bloom (1976: 12), evaluasi tidak hanya berfungsi mengukur hasil belajar, tetapi juga menjadi dasar pengambilan keputusan pedagogis yang berdampak langsung pada keberlanjutan proses pendidikan. Namun, dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, evaluasi cenderung kehilangan fungsi selektifnya. Kebijakan yang menghindari tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian telah menggeser makna evaluasi dari instrumen akademik menjadi sekadar prosedur administratif. Fenomena ini tampak nyata ketika peserta didik yang tidak menguasai literasi dan numerasi dasar tetap naik kelas dan dinyatakan lulus. Tilaar (2012: 87) menegaskan bahwa pendidikan tanpa standar yang jelas akan melahirkan krisis kualitas dan ketidakjujuran akademik yang sistemik. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap kebijakan kelulusan menjadi kebutuhan akademik yang mendesak.

2. Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode kajian normatif dan analisis kritis kebijakan pendidikan. Data diperoleh melalui:

Analisis regulasi pendidikan nasional, Kajian literatur evaluasi pembelajaran dan psikologi pendidikan, Refleksi empiris terhadap praktik pembelajaran di sekolah menengah. Pendekatan ini memungkinkan penulis mengkaji hubungan antara kebijakan kelulusan, standar kompetensi, dan dampaknya terhadap kualitas pendidikan. 

3. Pembahasan

3.1 Evaluasi Pembelajaran dan Hilangnya Fungsi Selektif Akademik

Evaluasi pembelajaran seharusnya memiliki fungsi diagnostik dan selektif. Sadler (1989: 121) menegaskan bahwa evaluasi yang tidak diikuti oleh konsekuensi nyata akan kehilangan daya regulatifnya dalam sistem pembelajaran. Dalam praktik pendidikan saat ini, hasil evaluasi tidak lagi menentukan status akademik peserta didik. Akibatnya, siswa tidak memiliki dorongan kuat untuk memperbaiki capaian belajarnya karena tidak terdapat implikasi nyata terhadap keberlanjutan studinya.

3.2 Putusnya Relasi Kausal antara Usaha dan Hasil Belajar

Prinsip dasar pendidikan menyatakan bahwa usaha belajar harus berbanding lurus dengan capaian akademik. Namun, kebijakan kelulusan otomatis menciptakan distorsi logika pedagogis, di mana kehadiran dan usia lebih menentukan daripada penguasaan kompetensi. Menurut Arends (2012: 64), sistem pembelajaran yang menghilangkan hubungan antara usaha dan hasil akan melemahkan motivasi intrinsik peserta didik dan merusak etos akademik jangka panjang.

3.3 Ketidakadilan Akademik dan Erosi Motivasi

Kebijakan yang menyamaratakan semua peserta didik tanpa mempertimbangkan capaian kompetensi menciptakan ketidakadilan struktural. Peserta didik yang belajar secara serius disetarakan dengan mereka yang tidak memenuhi standar akademik. Rawls (1999: 53) menegaskan bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila terdapat perlakuan yang proporsional terhadap usaha dan kontribusi individu. Dalam konteks pendidikan, penghapusan tinggal kelas justru melanggar prinsip keadilan akademik tersebut.

3.4 Degradasi Makna Ijazah sebagai Dokumen Akademik

Ijazah merupakan dokumen resmi yang menyatakan bahwa seseorang telah memenuhi standar kompetensi tertentu. Namun, ketika peserta didik yang tidak menguasai kemampuan dasar tetap dinyatakan lulus, maka ijazah kehilangan legitimasi akademiknya. Tilaar (2012: 102) menyebut fenomena ini sebagai krisis kredibilitas pendidikan, di mana dokumen akademik tidak lagi mencerminkan kemampuan nyata lulusan.

3.5 Tinggal Kelas sebagai Intervensi Pedagogis, Bukan Hukuman

Tinggal kelas sering dipersepsikan sebagai hukuman sosial. Padahal secara pedagogis, tinggal kelas merupakan bentuk intervensi akademik untuk mencegah akumulasi ketertinggalan belajar. Bloom (1976: 88) menegaskan bahwa waktu belajar yang cukup merupakan prasyarat utama keberhasilan pembelajaran. Dengan demikian, tinggal kelas memberi kesempatan struktural bagi peserta didik untuk mencapai kompetensi minimal yang dipersyaratkan.

3.6 Pendidikan, Konsekuensi, dan Kesiapan Menghadapi Dunia Nyata

Dunia kerja dan kehidupan sosial tidak mengenal promosi tanpa kompetensi. Pendidikan yang menghapus konsekuensi akademik justru menyiapkan generasi yang rapuh terhadap kegagalan dan tidak siap menghadapi realitas sosial. Menurut Biesta (2015: 41), pendidikan harus berani menghadirkan konsekuensi sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pembentukan tanggung jawab individu.

4. Kesimpulan

Penghapusan sistem tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian telah menurunkan standar akademik dan melemahkan integritas pendidikan nasional. Kebijakan tersebut tidak hanya merugikan peserta didik berprestasi, tetapi juga menyiapkan lulusan dengan kompetensi semu.

Artikel ini menegaskan bahwa penerapan kembali tinggal kelas dan ketidaklulusan ujian berbasis kompetensi merupakan kebutuhan mendesak untuk menjaga mutu pendidikan nasional. Humanisme pendidikan tidak dapat dilepaskan dari standar, evaluasi, dan konsekuensi akademik yang jelas.

 Kreator : Abdul Sedek Tomagola


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update